06 April 2020

Filsafat dan Sejarah Peradaban Islam



SOCRATES
Socrates adalah seorang filosof dengan coraknya sendiri. . Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari.
Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.
PLATO
Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik,yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan "ideal".Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.
Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani Kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau Negara. Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan, sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu. Polis atau negara ini dimungkinkan adanya perkembangan wilayah karena adanya pertambahan penduduk dan kebutuhanpun bertambah sehingga memungkinkan adanya perang dalam perluasan ini. Dalam menghadapi hal ini maka di setiap negara harus memiliki penjaga-penjaga yang harus dididik khusus.
Ada tiga golongan dalam negara yang baik, yaitu pertama, Golongan Penjaga yang tidak lain adalah para filusuf yang sudah mengetahui yang baik dan kepemimpinan dipercayakan pada mereka. Kedua, Pembantu atau Prajurit. Dan ketiga, Golongan pekerja atau petani yang menanggung kehidupan ekonomi bagi seluruh polis.Plato tidak begitu mementingkan adanya undang-undang dasar yang bersifat umum, sebab menurutnya keadaan itu terus berubah-ubah dan peraturan itu sulit disama-ratakan itu semua tergantung masyarakat yang ada di polis tersebut.Adapun negara yang diusulkan oleh Plato berbentuk demokrasi dengan monarkhi, karena jika hanya monarkhi maka akan terlalu banyak kelaliman, dan jika terlalu demokrasi maka akan terlalu banyak kebebasan, sehingga perlu diadakan penggabungan, dan negara ini berdasarkan pada pertanian bukan perdagangan. Hal ini dimaksudkan menghindari nasib yang terjadi di Athena.
Ciri-ciri Karya-karya Plato
  • Bersifat Sokratik
Dalam Karya-karya yang ditulis pada masa mudanya, Plato selalu menampilkan kepribadian dan karangan Sokrates sebagai topik utama karangannya
  • Berbentuk dialog
Hampir semua karya Plato ditulis dalam nada dialog. Dalam Surat VII, Plato berpendapat bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati yang ditulis dalam huruf-huruf yang membisu. Oleh karena itu, menurutnya, jika pemikiran itu perlu dituliskan, maka yang paling cocok adalah tulisan yang berbentuk dialog.
  • Adanya mite-mite
Plato menggunakan mite-mite untuk menjelaskan ajarannya yang abstrak dan adiduniawi
Verhaak menggolongkan tulisan Plato ke dalam karya sastra bukan ke dalam karya ilmiah yang sistematis karena dua ciri yang terakhir, yakni dalam tulisannya terkandung mite-mite dan berbentuk dialog.
Pandangan Plato tentang Ide-ide, Dunia Ide dan Dunia Indrawi
Idea-idea
Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai idea. Pandangan Plato terhadap idea-idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi. Idea yang dimaksud oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern. Orang-orang modern berpendapat ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja. Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan idea-idea tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui segala idea yang ada.
Dunia Indrawi
Dunia indrawi adalah dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang konkret, yang dapat dirasakan oleh panca indera kita. Dunia indrawi ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Selalu terjadi perubahan dalam dunia indrawi ini. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia jasmani ini fana, dapat rusak, dan dapat mati.
Dunia Idea
Dunia idea adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dalam dunia ini tidak ada perubahan, semua idea bersifat abadi dan tidak dapat diubah. Hanya ada satu idea “yang bagus”, “yang indah”. Di dunia idea semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual. Misalkan saja konsep mengenai "kebajikan" dan "kebenaran".

Pandangan Plato tentang Karya Seni dan Keindahan
Pandangan Plato tentang Karya Seni
Pandangan Plato tentang karya seni dipengaruhi oleh pandangannya tentang ide. Sikapnya terhadap karya seni sangat jelas dalam bukunya Politeia (Republik). Plato memandang negatif karya seni. Ia menilai karya seni sebagai mimesis mimesos. Menurut Plato, karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan (mimesis) dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ide. Ide jauh lebih unggul, lebih baik, dan lebih indah daripada yang nyata ini.
Pandangan Plato tentang Keindahan
Pemahaman Plato tentang keindahan yang dipengaruhi pemahamannya tentang dunia indrawi, yang terdapat dalam Philebus. Plato berpendapat bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide.Ia berpendapat bahwa kesederhanaan adalah ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya seni.Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.
ARISTOTELES
Aristoteles adalah murid Plato.Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam.
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi. Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi. Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru. Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas pada abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (11351204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (11261198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.
Perbandingan Pemikiran Plato dan Aristoteles Tentang Jiwa dan Raga.
Menurut Plato mausia memiliki tiga elemen dalam jiwa:
·Pertama adalah kemampuan menggunakan bahasa dan berfikir.
·Elemen raga tubuh dalam bentuk nafsu badaniah,hasrat dan kebutuhan.
·Elemen rohaniah/kehendak bisa dilihat dengan adanya emosiseperti kemarahan,sindiran,ambisi,kebanggaan dadn kehormatan.
Elemen paling tinggi menurut Plato adalah berikir(akal) dan terendah nafsu badaniah (Lavine.2003;73-74)
Jiwa menurut pandangan Plato,tidak dapat mati karena merupakan sesuatu yang adikodrati berasal dari dunia ide.Meski kelihatan bahwa jiwadan tubuh saling bersatu,tetapi jiwa dan tubuh adalah kenyataan yang harus dibedakan.Tubuh memenjarakan jiwa,oleh karenanya jiwa harus dilepaskan dari tubuh dengan dua macam cara yaitu pertama dengan kematian dan kedua dengan pengetahuan.Jiwa yang erlepas dari ikatan tubuhbisa menikmati kebahagiaan melihat ide karena selama ini ide teseut dikat oleh tubuh dengan keinginan atau nafsu badaniah sehingga menutup penglihatan tehadap ide (Hardiwijono, 2005:42)
Aristoteles meninggalkan ajaran dualise Plato tentang jiwa dan tubuh.Plato berpendapat bahwa jiwa itu bersifat kekal,tetapi Aristoteles tidak.
Menrut Aristoteles,jiwa dan tubuh ibarat bentuk dan materi.Jiwa adalah bentuk dan tubuh adalah materi.Jiwa merupakan asas hidup yang menjadikan tubuh memiliki kehidupan.Jiwa adalah penggrak tubuh,kehendak jiwa menentukan perbuatan dan tujuan yang akan dicapai (Hadiwijono, 2005:51).Secara spesifik jiwa adalah pengendali atas reproduksi,pergerakan dan persepsi.Aristoteles mengibaratkan jiwa dan tubuh bagaikan kampak.Jika kampak adalah benda hidup,maka tubuhya adalah kayu atau metal,sedangkan jiwanya adalah kemampuan untuk membelah dan segala kemampuan yang membuat tubuh tersebut disebut kampak.Sebuah kampak tidak bisa disebut kampak apabila tidak bisa memotong,melainkan hanya seonggok kau atau metal.
Disadari oleh Aristotel,bahwa tubuh bisa mati dan oleh sebab iu,maka jiwanya juga ikut mati.Seperti kampak tadi yang kehilangan kemampuannya,manusia juga demikian ketika mati,ia akan kehilangan kemampuan berfikir dan berkehendak.












Filsafat abad pertengahan adalah filsafat di era yang dikenal sebagai abad pertengahan (medieval) atau Abad Pertengahan (Middle Ages), periode sejarah yang membentang dari jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 masehi hingga periode Renaissance pada abad ke-16. Filsafat abad pertengahan, dipahami sebagai sebuah proyek penyelidikan filosofis yang independen, yang dimulai di Baghdad, di tengah-tengah abad ke-8, dan di Prancis, dalam masa pemerintahan Charlemagne, pada kuartal terakhir abad ke-8. Periode ini juga didefinisikan sebagai proses menemukan kembali budaya kuno yang pernah berkembang pada masa Yunani dan Roma pada periode klasik, dan juga kebutuhan untuk mengatasi masalah teologis dan untuk mengintegrasikan ajaran suci dengan pembelajaran sekuler.
Sejarah filsafat abad pertengahan lazimnya dibagi menjadi dua periode: periode di Barat Latin mengikuti Awal Abad Pertengahan sampai abad ke-12, ketika karya-karya dari Aristoteles dan Plato dilestarikan dan dibudidayakan, serta pada masa keemasan di sekitar abad ke-12, ke-13 dan abad ke-14 di Barat Latin, yang merupakan puncak dari pengembalian filsafat kuno, yang diperoleh kembali dari para pemikir di dunia berbahasa arab, dan perkembangan yang signifikan di bidang Filsafat agama, Logika dan Metafisika.
Era abad pertengahan umumnya dipandang remeh oleh para humanis di zaman Renaissance, lantaran mereka melihat filsafat pada Abad Pertengahan sebagai periode barbar "yang menengahi" filsafat pada periode klasik dari kebudayaan Yunani dan Romawi, dan 'kelahiran kembali' budaya pagan-klasik tersebut pada zaman renaissance. Sejarawan Modern menganggap era abad pertengahan merupakan periode dalam kronologi perkembangan filsafat, yang bagaimanapun sangat dipengaruhi oleh teologi Kristianitas. Salah satu yang paling terkenal dalam periode ini adalah Thomas Aquinas, yang tidak pernah menganggap dirinya seorang filsuf, dan mengkritik para filsuf kerap "tidak bisa menangkap kebenaran kebijaksanaan yang memadai sebagaimana yang dapat diungkapkan oleh kebenaran Kristianitas".
Masalah yang dibahas sepanjang periode ini adalah hubungan iman dengan akal budi, eksistensi dan kemudahan dari Allah, tujuan dari teologi dan metafisika, dan masalah-masalah pengetahuan, universalisme, dan individuasi.:1









Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim merupakan suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam dunia Islam atau peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian filsafat— falsafa (secara harfiah "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti "berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan,dan periode modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya disebut periode pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Periode terakhir yaitu periode modern atau kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang pascakematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 SM. Terdapat banyak pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan dalam kajian filsafat islam dapat dikatakan mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada akhir abad ke-19 di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.









  1. Masa Kolonial Belanda
Pada awalnya  kedatangan Belanda  ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Tetapi rupanya dibalik semua itu Belanda  memiliki maksud terselubung. Belanda  berupaya menancapkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia, Sehingga lambat laun Belanda  berhasil memperkuat  penetrasinya di Indonesia.
Belanda  tidak hanya memonopoli perdagangan bangsa Indonesia dengan system kapitalisnya, namun satu demi satu Belanda  berhasil menundukkan penguasa-penguasa lokal, kemudian merampas daerah-daerah tersebut kedalam kekuasaannya, dan dibalik semua itu bertujuan missioner.[1][1]
Sebelum tahun 1795 Belanda  telah berusaha memeras produk pertanian seperti kopi, teh, dan lada, melalui penyerahan paksa dan menjualnya ke pasaran Eropa. Namun kekalahan Belanda  terhadap Prancis  tahun 1795 dan hancurnya  Duch East India Company tahun 1799 mendesak Republic Belanda   mencari cara baru  untuk mengeksploitasi  ekonomi kolonial. Belanda  bermaksud memusatkan kekuasaan politik dalam rangka memaksimalkan pemerasan pajak.[2][2]
Jadi tujuan utama  Belanda  datang ke Indonesia, untuk  meng-embangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa.[3][3]
Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang  dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten –General  Republik dengan suatu piagam yang memberikan hak khusus ke pada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Soloman, termasuk kepulawan Nusantara.[4][4]
Jadi kolonialisme di Indonesia dimulai sejak permulaan abad ke 17 dengan didirikannya Vereenigde Oost Indisce Compagnie VOC) 1602.[5][5] VOC  melakukan monopoli rempah-rempah dengan jumlah dan harga yang ditetapkan oleh VOC.


  1. Kondisi Kerajaan Islam Di Indonesia Ketika Belanda  Datang
     Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda  diakhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan politik, tetapi juga proses Islamisasinya. Pada waktu  itu di Sumatra, penduduknya sudah Islam sekitar tiga abad, sedangkan di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasi baru sedang berlangsung. Di Sumatra kerajaan malaka jatuh ke tangan Portugis, sehingga persatuan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi  tiga  Aceh, Portugis dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.[6][6]
Pada abad ke-16, Aceh kelihatan lebih dominan, karena  para pedagang muslim menghindar dari Malaka lebih memilih Aceh sebagai pelabuahan transit. Kemenangan  Aceh atas Johor  pada tahun 1564, membuat kerajaan ini menjadi daerah vassal dari Aceh.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah  dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Perpindahan ini membawa pengaruh besar  yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya adalah: Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas garis agraris, peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, begitu juga dengan pedagang dan pelayar Jawa, terjadinya pergeseran pusat-pusta perdagangan dalam  abad ke-17 dengan segala akibatnya.
Di Sulawesi  pada akhir abad ke -16 pelabuhan Makasar berkembang dengan pesat. Letaknya memang  strategis.
  1. Politik  Islam Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan perjanjian Giyanti, oleh karna itu raja Jawa pada saat itu kehilangan kekuasaan politiknya. Bahkan kebiwaan raja Jawa pada saat itu sangat tergantung kepada VOC. Pada saat itu campur tangan kolonial terhadap kehidupan karaton makin meluas, sehingga ulama-ulama keraton sebagai penasihat raja-raja tersingkir.
Reaksi paling awal terhadap konsolidasi  pemerintahan Belanda   dan hancurnya aristokrasi[7][7]  lama datang dari kalangan muslim. Keseimbangan kekuatan yang sedang berubah menimbulkan gerakan kebangkitan  ulama yang menentang otoritas  kaum elite priyayi. Bahkan semenjak  konsolidasi Mataram  pada awal abad  ke-17, aristokrasi  Jawa telah dibagi dua kelompok priyayi yang memerintah, yang terkondisikan oleh nilai-nilai Jawa, dan kyai  yang mewakili komunitas yang setia terhadap keyakinan agama  Islam.
Dengan masuknya  kelompok aristokrasi priyayi  ke dalam pemerintahan kolonial Belanda, kyai menjadi satu-satunya  perwakilan masyarakat Jawa yang independen. Otoritas, jumlah, dan pengaruh mereka sangat luas, sehingga meningkatkan kesadaran mereka terhadap identias muslim , dan menjadikan mereka  mengenal perlawanan dunia muslim terhadap kolonialisme.[8][8]
Akibat Kolonial   rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara penguasaan Kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Hasil bumi rakyat dijadikan untuk kepentingan pemerintah colonial Belanda. Penggusuran dan perampasan tanah milik rakyat untuk kepentingan pemerintah semakin digalakkan. Rakyat ketakutan dan kesulitan menghadapi penindasan tersebut. Ini terjadi sampai abat ke-14.[9][9]
Dalam kondisi  seperti ini rakyat mencari pemimpin nonformal (para ulama, kyai, atau bangsawan) yang masih memperhatikan mereka. Pusat kekuatan politik berpindah dari istana keluar, yaitu ke wilayah-wilayah yang jauh dari istana, salah satu ke pasantren-pasantren yang kemudian menjadi basis perlawanan.
Keterlibatan para ulama dalam politik hampir sama tuanya dengan sejarah peradaban Islam. Ulama, atas nama Islam, menggalang kekuatan untuk melawan penjajah. Terjadilah perang Jawa (1825-1830) dipelopori pangeran Diponegoro didampingi Kyai Mojo  (1873-1904) walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran polotik ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam Indonesia. Penggalangan atas nama Islam telah memupuk cinta tanah air dan anti Kolonial.[10][10]
Sepanjang abad ke-18 di Sumatera penuh pergolakan. Ulama dan pedagang Arab berdatangan menimbulkan suasana baru dalam kehidupan keagamaan karena mulai munculnya cikal bakal repormasi ortodoks (pemurnian keagamaan). Pada saat itu berperang kerajaan Riau yang berakhir ketika gabungan Riau-Johor dikalahkan Belanda.
  1. PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN KOLONIAL
Sejak  dari zaman Belanda   VOC kedatangan mereka  di Indonesia  sudah bermotif ekonomi, politik dan agama, dalam hak oktroi VOC terdapat saru pasal yang berbunyai “ badan ini harus berniaga  di Indonesia  dan bila perlu boleh perperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen  dengan mendirikan sekolah”.[11][11]
Terhadap pendidikan Islam, semula Belanda  (tahun 1610 M) bersikap membiarkan saja menurut sistem kerajaan Mataram. Namun, mereka lambat laun mengubah pendidikan Islam secara sedikit demi sedikit.
Setelah Diponegoro ditaklukkan, Belanda  melanjutkan usahanya untuk membinasakan organisasi resmi pendidikan Islam. Penghulu, Naib, Modin dibebaskan dari kewajiban pendidikan dan pengajaran Islam. Penghulu tidak lagi menjadi hakim agama, cukup Naib saja yang menjadi juru nikah, talak, dan rujuk, dan semuanya berada dibawah pengawasan Belanda. Karena usaha-usaha Belanda  itu, pendidikan Islam lama- kelamaan menjadi mundur dan makin terdesak oleh pendidikan barat.
Ketika Van den Bosch menjadi Gubernur Jendral di Jakarta tahun 1831M, ia mengeluarkan kebijaksanaan bahwa sekolah gereja dianggap diperlukan sebagai sekolah pemerintah Belanda. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Di setiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. Ketika Van den Capellen tahun 1819M merencanakan berdirinya sekolah dasar  bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda.
Dalam surat edarannya kepada para Bupati berisi: “Dianggap penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin  merata kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka dapat menaati undang undang dan hukum Negara.[12][12]
Dari surat edaran diketahui bahwa Belanda  mengaggap pendidikan agama Islam yang diselenggarakan di pondok pondok pesantren, masjid, mushalla, dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Kemunduran pendidikan Islam itu sampai puncaknya sebelum tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia. Bahkan pada tahun 1882 Belanda  membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam.
Tahun 1925 Belanda  mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu dibabkan tumbuhnya organisasi pendidikan Islam, seperti Muhammadyah, Syarikat Islam, al Irsyad, Nahdatul Wathan, dan lain – lain. Tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak izinnya yang disebut Ordonisasi Sekolah Liar.
Masa perubahan di Jawa sejak tahun 1900 dimulai oleh K.H. Hasyim Asyari membuka Pasantren Tebuireng  di Jombang dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi yang meluluskan banyak ulama. Pada tahun 1959 Pondok ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:
1.      Madrasyah Ibtidaiyah enam tahun, mata pelajarannya 70 persen agama, 30 persen umum.
2.         Tsanawiyah tiga tahun, untuk pelajarannya 70 persen agama. 30 persen umum.
3.         Mua’allimin lima tahun.










A.    Islam Masa Orde Lama

Setelah memhttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ5Tuexynzw0HbqT7uh07_rRjXL2hw98TG-iV2XsgxSkYQBGuiGI0kSOQRGaiIAMJDq5tlFcs2-GNXT_-962LY5e5uyVsd2W-i-PwWPwEwhd0f5sEuHdMxuTxyjgheUhKYzSqba22WkcQ/s400/2801110619_predikat-indonesia-negara-berpenduduk-muslim-terbesar.jpgproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, mulailah bangsa Indonesia mengisinya dengan pembangunan di berbagai bidang; fisik, nonfisik, mental, spiritual dan infrastruktur. Para pemimpin waktu itu sepakat mengangkat Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden.

Salah satu yang menjadi agenda para pemimpin waktu itu adalah departemen apa saja yang perlu dibentuk. Muncul usulan membentuk Kementrian Agama yang bertugas mengurusi masalah keagamaan bagi umat Islam. Dalam rapat yang berlangsung, Latuharhary, seorang utusan dari Maluku, keberatan dengan pembentukan kementrian agama tersendiri. Keberatan itu didasarkan pada kekhawatiran bahwa jika misalnya seorang Kristen yang menjadi menteri agama, kaum Muslim akan merasa kurang tenteram, dan begitu sebaliknya. Dari kalangan Islam, Abdul Abbas menyarankan agar masalah agama dijadikan bagian dari Kementrian Pendidikan. Usul ini akhirnya diterima, karena setelah dilakukan voting, gagasan membentuk kementrian agama tersendiri hanya memperoleh enam suara. Tetapi pada sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), sebuah komite lanjutan dari PPKI, usul ini muncul kembali. Para tokoh Islam seperti Mohammad Natsir mendukung usul ini dengan pertimbangan supaya masalah agama tidak dianggap ”sambil lalu” oleh Kementrian Pendidikan. Presiden pun memberi isyarat setuju. Maka pada 12 Maret 1946 Kementrian agama resmi dibentuk dengan H.M. Rasjidi sebagai menteri pertamanya.

Adanya Kementrian Agama dapat dikatakan sebagai solusi kompromi atas polemik yang terjadi pada ”tujuh kata” pada Piagam Jakarta, yang dapat menawarkan kemungkinan bagi pelaksanaan ajarana agama, khususnya syariat Islam, sehingga Islam dapat berperan dalam negara modern.

Suasana sosial-politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Perdebatan mereka tentang corak hubungan antara Islam dan negara seperti terhenti. Paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini melupakan perbedaan ideologis di antara mereka .

Kelompok Islam menjadikan wadah Masyumi sebagai organisasi politik untuk mennyuarakan aspirasi mereka. Para anggota Masyumi adalah. Kekuatan Masyumi antara 1946-1951benar-benar mencolok. Herbert Feith mengatakan bahwa dalam pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa pada 1946, dan pemilihan umum di Yogyakarta pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas suara mutlak atau paling tidak lebih banyak dibanding kontestan lain manapun .

Dalam Parlemen yang berangotakan 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai dengan menduduki 49 kursi. Karena besarnya perolehan kursi, Masyumi dipercaya memimpin kabinet yaiti Kabinet Natsir pada 1950-1951, Kabinet Sukiman pada 1951-1952, dan Kabinet Burhanudin Harahap pada 1955-1956.

Namun keutuhan Masyumi harus diuji dengan keputusan NU keluar dari Masyumi. NU kemudian membentuk partai sendiri. Menariknya kursi yang diperoleh dari Pemilu tahun 1955, NU memperoleh 45 kursi dan masuk dalam empat partai besar yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI .

Kekuatan Masyumi sebagai partai politik Islam terus diuji sehingga harus mengalami masa surutnya. Perkembangan lebih lanjut anggota-anggota yang menjadi pendukung Masyumi yaitu Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittihadiyah, al-Jami’ah al-Washliyah, al-Irsyad, dan Persis keluar dari Masyumi. Terakhir karena konflik dengan Soekarno, Masyumi dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1960. Tokoh-tokoh Masyumi dituduh Soekarno terlibat dalam pemberomtakan PRRI .

Soekarno kemudian menggagas ide yang ingin menyatukan paham Nasionalisme, Islam dan Komunisme yang terkenal dengan sebutan NASAKOM. Konsep yang jelas mengenai ide ini tak pernah terumuskan. Ide ini mendapat reaksi keras dari umat Islam. Namun secara tidak diduga ide ini didukung oleh NU. Bahkan NU memberikan gelar kepada Soekarno dengan gelar Waliyyul Amri Dharury bisy Syaukah. Pada bulan Mei 1963 NU dan PKI mendukung sepenuhnya pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Sikap akomodatif NU ini, menurut Ensiklopedi Tematis Islam , hanyalah suatu pragmatisme politik. Idham Khalid berpendapat partainya tidak akan turut serta dalam pemerintahan yang merugikan agama.

Peranan partai Islam di masa ini mengalami kemerosotan. Soekarno makin memperlihatkan otoritasnya sebagai penguasa. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginannya. Partai yang mendapat angin waktu itu adalah PKI yang mulai melakukan manuver-manuver politiknya.

Masa Soekarno ini kemudian terkenal dengan masa Demokrasi Terpimpin. Era Soekarno berakhir setelah terjadinya pemberontakan Gerakan 30 September 1965 yang terkenal dengan G30S PKI. Para Jenderal yang setia kepada Pancasila dibunuh dengan sadis. Soekarno pun dikaitkan dengan dukungannya terhadap G30S. Masa ini kemudian dikenal dengan masa Orde Lama.
B. Islam Masa Orde Baru

Tanggal 10 Januari1966 para mahasiswa turun ke jalan memprotes pemerintah yang makin tidak berpihak kepada rakyat. Mereka melakukan demonstrasi menuntut PKI dibubarkan, mendesak membubarkan kabinet 100 menteri, dan meminta harga-harga diturunkan. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) itu kemudian dikenal demonstrasi Tritura atau tiga tuntutan rakyat. Sejak ini mulailah era baru yang disebut Orde Baru. Sebelum ini disebut Orde Lama.

Presiden Soekarno di masa ini sudah tidak memiliki kekuatan lagi. Berdasar surat perintah sebelas Maret (Supersemar) dia memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Kepada Soeharto diperintahkan ”untuk menciptakan suasana ketenangan dan keamanan, dan menjamin keselamatan pribadi presiden, yang jelas merasa terancam” . Melalui rapat di MPR Soeharto dipercaya menjadi presiden RI menggantikan Soekarno. Harapan baru umat Islam muncul kembali. Masyumi diusulkan untuk direhabilitasi, namun ditolak oleh pemerintah. Sebagai kompensasinya pemerintah mengizinkan pendirian partai baru untuk menampung para mantan aktivis Masyumi. Nama partai tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan pimpinannya Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun.

Satu dengmi satu keinginan umat Islam kandas di tangan Orde Baru. Piagam Jakarta yang diu sulkan untuk dilegalisasi kembali pada sidang MPRS tahun 1968 ditolak. Demikian juga keinginan menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia pada tahun yang sama tidak dikabulkan.

Sikap saling curiga muncul dan merebak, bahkan pemerintah Orde Baru makin memperlihatkan sikap represifnya terhadap kaum Muslimin. Setiap kegiatan dakwah harus meminta izin dari aparat keamanan, setiap organisasi Islam harus mengganti azas organisasinya dengan azas tunggal Pancasila, dan partai yang dibolehkan hanya tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia. Semua pegawai negeri digiring untuk memilih Golongan Karya sehingga selama enam kali pemilihan umum Golkar berhasil memenangkan pemilihan umum. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus-kampus juga dibatasi dengan norma-norma yang menyebabkan mahasiswa hanya memfokuskan hanya pada perkuliahan. Para pendakwah yang dianggap membahayakan penguasa dipenjarakan .

Menurut Din Syamsudin, agenda politik Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Proyek ini, menurutnya, didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Dengan mendepolitisasi Islam mereka akan mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka .

Namun walaupun Islam secara politik mendapat tekanan dari berbagai sudut, di pihak lain, secara kultural kebangkitan Islam menyeruak tanpa dapat dibendung. Mungkin ini hikmah dari perlakuan kurang bersahabat pemerintah terhadap umat Islam. Secara fenomenal dakwah Islam menerobos dinding-dinding gedung mewah seperti hotel-hotel berbintang. Gedung-gedung perkantoran modern menyediakan tempat untuk shalat jumat, pengajian-pengajian muncul di kalangan birokrasi pemerintahan, berbagai kegiatan dakwah seperti tablig akbar mendapat sambutan ribuan pengunjung, masjid-masjid bermunculan, seminar-seminar keislaman diadakan di kampus-kampus sekuler seperti UI, ITB, IPB, Trisakti dan UGM, wanita-wanita dari kalangan terpelajar banyak yang mengenakan jilbab di kota-kota besar, buku-buku Islam terbitan baru dengan tampilan menarik diterbitkan secara besar-besaran. Dan pada tingkat ekonomi berhasil didirikan Bank Muamalat yang beroperasi secara syariat Islam. Pada lapisan kaum intelektual didirikan organisasi bernama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan ketuanya BJ Habibie. Jumlah jamaah haji pun meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 200 ribu jamaah lebih.

Kekuatan Orde Baru semakin nyata berkat dukungan militer. Posisi Presiden Soeharto pun makin kokoh dengan dukungan tentara. Perkembangan kebangkitan Islam pun direspond oleh Soeharto dengan melakukan pendekatan terhadap kalangan Islam. Pendirian Bank Muamalat dan ICMI adalah hal yang didukung penuh oleh Soeharto. Namun di awal tahun 90-an ada wacana yang dimunculkan oleh Amien Rais tentang perlunya regenerasi kepemimpinan nasional. Seperti diketahui bahwa setiap sidang MPR yang menentukan kepemimpinan nasional, pilihan selalu menuju ke diri Soeharto sampai enam kali sampai angin reformasi yang menghendaki pergantian kepemimpinan nasional muncul.

Diawali dengan adanya krisis moneter yang melanda negara-negara Asia, yang berdampak nilai rupiah makin merosot terhadap dolar, posisi pemerintah di bawah Soeharto mulai disorot oleh rakyat. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran muncul di Jakarta. Demonstrasi yang terjadi setiap hari itu sampai menelan korban yakni tewasnya tiga mahasiswa Universitas Trisakti. Kerusuhan dan penjarahan muncul secara brutal yang berujung pada kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998. Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden dan digantikan oleh wakilnya yaitu Bacharuddin Jusuf Habibie.

C. Euforia Pasca Jatuhnya Soeharto

Berakhirnya masa kekuasaan Soeharto menandai dimulainya orde reformasi. Maka Habibie mendapat tugas berat menakhodai Indonesia di masa transisi. Langkah-langkah yang mengarah kepada proses demokratisasi pun diambil. Kebebasan pers dijamin, pemberantasan korupsi dilakukan, para pejabat yang diangkat melalui nepotisme diberhentikan, kabinet pun dirombak, sistem politik yang berkaitan dengan penetapan presiden dan para kepala daerah dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Dan yang paling menarik adalah dibukanya kran regulasi politik yang membolehkan didirikannya partai baru.

Situasi ini dimanfaatkan oleh rakyat untuk beramai-ramai mendirikan partai baru. Dan secara fenomenal di masa ini kembali Islam politik mendapat momentumnya untuk bangkit. Sejumlah partai Islam berdiri seperti Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang, Partai Masyumi Baru dan Partai Syarikat Islam. Selain itu PPP yang pernah mengganti asas partai dengan Pancasila pun kembali menegaskan asasnya dengan Islam dan mengganti lambang dengan gambar ka’bah .
Partai-partai baru ini selain ada yang secara tegas berasaskan Islam, ada pula yang tidak menegaskan sebagai partai Islam namun konstituennya adalah kalangan Islam seperti Partai Amanat Nasional (PAN) yang digagas oleh Amien Rais, aktivis Muhammadiyah, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang digagas oleh Abdurrahman Wahid.

Secara fantastis Pemilu tahun 1999 mengikutsertakan 48 partai yang ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih. Dari ke 48 partai itu dapat dikategorikan kepada empat kategori yaitu pertama, partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP); Kedua, partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Politik Islam Masyumi (PPIM), dan Partai Syarikat Islam; Ketiga, partai nasionalis berbasis Islam, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Keempat, partai Kristen; Keempat, partai para buruh seperti Partai Buruh Indonesia.

Seleksi alam menggugurkan satu demi satu partai yang berta rung di kancah pemilu 1999 tersebut. Partai yang di masa Orde Baru diberi kesempatan berlaga, yaitu PPP, Golkar dan PDI (yang kemudian berubah menjadi PDIP), masih mendapat suara signifikan. Namun para pendatang baru yang dianggap oleh rakyat sebagai alternatif pun bermunculan. Terdapat tujuh partai yang memperoleh suara di atas partai-partai lain yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK.

Di masa keterbukaan ini, harapan akan terjaminnya rasa keamanan, keadilan dan kesejahteraan rakyat mulai berjalan. Kekuasaan represif rezim Orde Baru yang didukung militer mulai hilang. Rakyat mulai berani menyuarakan kepentingannya tanpa rasa takut, sehingga unjuk rasa-unjuk rasa menjadi pemandangan biasa di jalan-jalan.
Masa transisi kepemimpinan Habibie berlangsung satu tahun. Sidang MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden. Namun Wahid pun hanya setahun memimpin karena terkait kasus Bulog yang menyebabkan ia diganti oleh Megawati.

Pemilihan langsung presiden pertama digelar pada tahun 2004. Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla berhasil memperoleh suara terbanyak sehingga ditetapkan sebagai presdien dan wakil presiden mengalahkan pasangan-pasangan lain yaitu Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Judohusodo, Wiranto-Solahudin Wahid, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Para pengamat politik dunia menilai keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Pemilu secara langsung menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis ketiga di dunia setelah Amerika dan India.

D. Islam di Masa Reformasi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwPdptr8QYxB0qN55_vfoR_pqMq9LD0cHRcq4cUITVBqiTJWxzcdhTzkU4uLNx_rXhcSQ-jvCoP1Ls8jh_Uy5eCeohd6UZcoQFDgmFZfIw29ewyvltz6N1PDFd_HZNYnkPs7UQ1Tc3Jh0/s400/Mayoritas-Indonesia-Muslim-Partai-Islam-Kurang-Disukai.jpgKebebasan yang terbuka lebar di masa ini pun dimanfaatkan oleh umat Islam untuk menata dirinya, bukan hanya di bidang politik, melainkan juga bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan kehidupan keberagamaan.

Di bidang politik, banyak fenomena menarik tentang menguatnya kebangkitan politik kaum santri. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro Islam semakin tampak terbuka, seperti dicanangkannya program zakat nasional pada tahun 2005 dan penataan madrasah-madrasah di bawah Departemen Agama dengan dukungan dana yang besar.

Ketika Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) disahkan maka sekarang tidak lagi menjadi tugas DPRD untuk menentukan gubernur dan bupati/walikota. Maka berlangsunglah pesta demokrasi tingkat daerah yang memunculkan calon-calon pemimpin baru. Yang menarik dari hasil pilkada, secara tidak terduga, terdapat pemimpin baru yang terpilih dari kalangan santri. Terpilihnya Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat pada 2008 sangat mencengangkan banyak orang. Mereka adalah calon dari partai Islam yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partai berberbasis massa Islam, Partai Amanat Nasional. Demikian juga calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara yang diusung PKS memenangkan Pilkada Sumut tidak lama setelah berlangsung Pilkada Jawa Barat.

Di bidang ekonomi, kaum Muslimin sudah memiliki bank yang beroperasi secara Islami, yaitu Bank Muamalat yang sudah dirintis sejak zaman Orde Baru. Karena minat umat Islam yang begitu besar akan beroperasinya bank Islam maka para bankir pun memanfaatkan momentum ini. Para pengusaha bank berusaha untuk mengkonversi sistem perbankan dari konvensional ke perbankan syariah. Banyak bank yang tadinya hanya beroperasi secara konvensional mulai membuka sistem syariah. Dimulai oleh Bank Syariah Mandiri, kemudian disusul oleh Bank BNI Syariah, IFI Syariah, BUKOPIN Syariah, BRI Syariah, BTN Syariah, BII Syariah, Permata Syariah, dan bahkan bank asing seperti HSBC.

Fenomena ini mendorong pihak Bank Indonesia (BI) untuk membuka divisi perbankan syariah untuk melakukan pembinaan dan regulasi. Jabatan pembina bank syariah di BI pun ditingkatkan dari setingkat divisi menjadi direktorat, seiring dengan menjamurnya bank-bank syariah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal dengan munculnya bank-bank perkreditan syariah.

Kebutuhan akan tenaga sumber daya manusia yang ahli di bidang perbankan syariah secara otomatis disambut oleh kalangan perguruan tinggi untuk membuka jurusan ekonomi Islam. Maka perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta, ramai-ramai membuka jurusan ekonomi Islam. Namun kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh kalangan perguruan tinggi umum untuk membuka jurusan ekonomi syariah. Maka UI, UGM, Trisakti dan IPB pun membuka program ekonomi Islam, tidak hanya di strata sarjana melainkan juga pascasarjana.
Pendidikan Islam juga memunculkan fenomena yang menarik. Di level pendidikan dasar dan menengah, muncul fenomena sekolah terpadu, yaitu Sekolah dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) dan Sekolah Menengah Islam Atas Terpadu (SMAIT).

Kehadiran sekolah terpadu ini ternyata menarik minat kalangan masyarakat untuk memasukkan anak-anaknya. Sistem sekolah ini pada intinya memadukan pendidikan umum dan agama bukan hanya pada tingkat teoritis melainkan sampai pada tingkat praktik. Anak-anak diwajibkanuntuk mempraktekkan shalat berjamaah di masjid sekolah. Bahkan bukan hanya shalat wajib, sekolah ini pun mengharuskan mereka untuk shalat sunat seperti dhuha dan rawatib. Di bidang bacaan Quran, sistem SIT menekankan kefasihan dan hafalan Quran anak didik.

Animo masyarakat memasukkan anaknya ke sekolah terpadu bisa menjadi faktor terbukanya kesadaran akan pentingnya ajaran Islam bagi anak-anak mereka.

Di pihak lain muncul fenomena lain yaitu sekolah-sekolah berasrama atau yang populer disebut Boarding School. Sekolah ini sebenarnya sekolah umum, hanya siswanya diwajibkan tinggal di asrama untuk mengikuti pembinaan kepribadian yang menunjang tujuan sekolah. Sekalipun model sekolah ini menyerupai pesantren, namun tidak ada pelajaran mengaji kitab kuning atau kewajiban berbahasa Arab di lingkungan asrama. Beberapa nama sekolah yang menerapkan model ini adalah SMA Madania, SMA Dwiwarna, keduanya di Parung, Bogor; SMA al-Muthahhari Bandung, dan International Islamic Boarding School (IIBS) Cikarang.

Di level kehidupan keberagamaan masyarakat terjadi perkembangan yang juga menarik untuk diamati, seperti menjamurnya travel-travel haji dan umroh untuk memfasilitasi masyarakat yang hendak naik haji dan umroh. Jumlah jamaah haji terus meningkat mencapai lebih dari 220 ribu jamaah. Pengajian-pengajian dan training-training Islam dibanjiri pengunjung seiring dengan bermunculannya da’i-da’i muda yang menarik dalam menuturkan materi dakwahnya.

Majelis-majelis ta’lim yang menampilkan juru-juru dakwah yang populer dan menyejukkan bermunculan dan diminati kaum Muslim perkotaan. Dalam kaitan ini masing-masing majelis pengajian memiliki nama yang menjadi semacam ”trade mark” seperti Manajemen Qalbu yang dipelopori oleh Abdullah Gymnastiar, Majelis Zikir yang dipelopori oleh Arifin Ilham, dan Wisata Hati yang diasuh oleh Yusuf Mansyur. Juru dakwah yang lebih dahulu menyemarakkan tablig-tablig akbar adalah Zainuddin MZ, yang mendapat julukan ”da’i sejuta ummat”. Namun seiring dengan perannya di partai politik, namanya perlahan-lahan tidak lagi populer.

Di kalangan eksekutif, kebangkitan keagamaan juga makin meluas. Hampir tidak ada satu pun gedung pencakar langit di kota besar seperti Jakarta yang tidak memiliki fasilitas shalat jumat. Hotel-hotel berbintang berlomba-lomba menyediakan tempat untuk shalat tarawih yang diisi ceramah agama. Para artis banyak yang mengenakan busana yang menutupi aurat di samping melaksanakan umroh dalam mengisi liburan mereka.

Training-training motivasi juga diminati kaum menengah dan eksekutif. Dalam hal ini yang menonjol adalah training ESQ (Emotional, Spiritual Quotient) yang dipelopori oleh Ary Ginanjar Agustian. Sekalipun, untuk mengikuti training ini harus membayar jutaan rupiah namun tetap saja diminati kalangan eksekutif dan kalangan Islam kota. Bahkan di tahun 2006 ESQ sudah dilaksanakan di luar negeri seperti Malaysia dan Brunei. Training ESQ sebenarnya lebih banyak muatan keislamannya namun dikemas secara menarik melalui pendekatan sains modern mutakhir dan teknologi multimedia serta musikalisasi yang mengundang sentuhan emosi para pesertanya. Selain kaum profesional dan eksekutif, ESQ juga menyediakan training untuk mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga dan anak-anak.

Acara-acara dakwah pun menjamur di televisi, terutama pada waktu datangnya bulan Ramadhan. Pada bulan ini acara dakwah diadakan menjelang dan sesudah berbuka puasa serta menjelang dan setelah santap sahur. Cerita-cerita film di televisi pun memunculkan kisah-kisah Islami yang tidak ditemui di masa-masa sebelumnya.

Pendek kata, syiar Islam di masa ini tampak semarak menembus ruang-ruang kehidupan masyarakat. Dalam mengekspresikan pendapat, gagasan, pikiran dan cita-citanya, masyarakat tidak lagi dihantui perasaan takut, seperti di masa Orde Baru. Gagasan-gagasan provokatif, bernuansa politis, sekalipun, tidak mendapat teguran atau larangan dari pemerintah. Bahkan negara, secara legal formal, telah mengesahkan wilayah Provinsi Aceh, yang kemudian berubah nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sebagai wilayah yang diberi otonomi penerapan syariat Islam. Kasus-kasus pelanggaran pidana yang dilakukan warga diputuskan melalui peradilan syariat .

Di antara sebagian masyarakat ada yang secara demonstratif dan provokatif mengkampanyekan diterapkannya syariat Islam di negara RI , bahkan ada juga di antara mereka yang ingin membangun negara dengan sistem khilafah yang berdimensi universal di seluruh dunia .

Perkembangan Islam dan kehidupan umat Islam di Indonesia akan terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu. Banyaknya kaum muda Islam terpelajar yang bergelar sarjana, magister dan doktor tampaknya membawa angin segar bagi perkembangan baru Islam Indonesia di masa depan.

Beberapa pendapat yang dilontarkan para pakar dan pemikir Islam dunia memprediksi bahwa kebangkitan Islam akan muncul di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Apakah itu mitos atau realitas, hanya waktu yang akan menjawabnya.











ONTOLOGI
Ontologi berasal dari bahasa Yunani  yaitu  Ontos  berarti yang berada (being) dan Logos berarti pikiran (logic). Jadi, Ontologi berarti ilmu yang membahas tentang hakiket sesuatu yang ada/berada atau dengan kata lain  artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada” atau dapat dikatakan berwujud dan berdasarkan pada logika.  Sedangkan,  menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara rohani. Disis lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari sesuatu yang ada.
Objek kajian Ontologi disebut “ Ada” maksudnya berupa benda  yang terdiri dari alam , manusia individu, umum, terbatas  dan tidak terbatas (jiwa). Di dalam ontologi juga terdapat  aliran yaitu  aliran monoisme yaitu segala sesuatu yang ada berasal dari satu sumber (1 hakekat).
Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan – pernyataan dalam sebuah  ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut dengan Metafisika. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki gerakan atau perubahan yang berkaitan dengan yang ada (being).
Dalam hal ini, aspek Ontologi menguak beberapa hal, diantaranya:
  1. Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
  2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
  3. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
  4. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah secara :
  1. Metodis            : menggunakan cara ilmiah.
  2. Sistematis         :saling berkaitan satu sama lain secara teratur  dalam satu keseluruhan.
  3. Koheren           : Unsur – unsur harus bertautan tidak boleh
mengandung uraian yang bertentangan.
  1. Rasional           : Harus berdasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis)
  2. Komprehensif  : Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan.
  3. Radikal            : Diuraikan sampai akar persoalan, atau esensinya.
  4. Universal          : Muatan kebenaranya sampai tingkat umum  yang berlaku dimana saja.
Hakikat dari Ontologi  Ilmu Pengetahuan
  1. Ilmu berasal dari riset (penelitian)
  2. Tidak ada konsep wahyu
  3. Adanya konsep pengetahuan empiris
  4. Pengetahuan rasional, bukan keyakinan
  5. Pengetahuan metodologis
  6. Pengetahuan observatif
  7. Menghargai asas verifikasi (pembuktian)
  8. Menghargai asas skeptisisme yang redikal.
Jadi, Ontologi pengetahuan filsafat adalah ilmu yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud berdasarkan logika sehigga dapat diterima oleh banyak orang yang bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah terbukti keabsahaanya.
EPISTIMOLOGI
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan atau kebenaran dan logos berarti pikiran, kata atau teori. Dengan demikian epistimologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenahi pengetahuan. Epistimologi dapat juga diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar (teori of knowledges). Epistimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan.
Istilah epistimologi dipakai pertama kali oleh J. F. Feriere untuk membedakannya dengan cabang filsafat lain yaitu ontologi (metafisika umum). Filsafat pengetahuan (Epistimologi) merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Epistomogi merupakan bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan asal mula pengetahuan, batas – batas, sifat sifat dan kesahihan pengetahuan. Objeck material epistimologi adalah pengetahuan . Objek formal epistemologi adalah hakekat pengetahuan.
  1. Logika Material adalah usaha untuk menetapkan kebenaran dari suatu pemikiran di tinjau dari segi isinya. Lawannya adalah logika formal (menyelidiki bentuk pemikiran yang masuk akal). Apabila logika formal bersangkutan dengan bentuk-bentuk pemikiran, maka logika material bersangkutan dengan isi pemikiran. Dengan kata lain, apabila logika formal yang biasanya disebut istilah’logika’berusaha untuk menyelidiki dan menetapkan bentuk pemikiran yang masuk akal, maka logika material berusaha untuk menetapkan kebenaran dari suatu pemikiran ditinjau dari segi isinya. Maka dapat disimpulkan bahwa logika formal bersangkutan dengan masalah kebenaran formal sering disebut keabsahan (jalan) pemikiran. Sedangkan logika material bersangkutan dengan kebenaran materiil yang sering juga disebut sebagai kebenaran autentik atau otentisitas isi pemikiran.
  2. Kriteriologia  berasal dari kata kriterium yang berarti ukuran. Ukuran yang dimaksud adalah ukuran untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan tertentu. Dengan demikian kriteriologia merupakan suatu cabang filsafat yang berusaha untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan berdasarkan ukuran tentang kebenaran.
  3. Kritika Pengetahuan adalah pengetahuan yang berdasarkan tinjauan secara mendalam, berusaha menentukan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan manusia.
  4. Gnoseologia (gnosis = keilahian, logos = ilmu pengetahuan) adalah ilmu pengetahuan atau cabang filsafat yang berusaha untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pengetahuan, khususnya mengenahi pengetahuan yang bersifat keilahian.
  5. Filsafat pengetahuan menjelaskan tentang ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus akan memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan. J.A.Niels Mulder menjelaskan bahwa epistimologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan.  Abbas Hamami Mintarejo berpendapat bahwa epistemologi adlah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
Epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Jadi, objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
Aspek estimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut. Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis mayor, dan premis minor.
  1. Analogi dalam ilmu bahasa adalah persaaman antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk – bentuk yang lain.
  2. Silogisme adalah penarikan kesimpilan konklusi secara deduktif tidak langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang di sediakan sekaligus.
  3. Premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan, kebenaran, dan kepastian.
  4. Premis Minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan dalil – dalilnya.
Dalam epistimologi dikenal dengan 2 aliran, yaitu:
  1. Rasionalisme      : Pentingnya akal yang menentukan hasil/keputusan.
  2. Empirisme          : Realita kebenaran terletak pada benda kongrit yang dapat diindra karena ilmu atau pengalam impiris.
AKSIOLOGI
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti nilai. Sedangkan logos berarti teori/ ilmu. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilali merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksioloagi adalah ilmu yang membecirakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan dijalan yang baik pula karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan dijalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana. Dalam aksiologi ada dua penilaian yang umum digunakan yaitu:
  1. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilkau, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa sokrates dan para kaum shopis.disitu dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagainya. Etika sendiri dalam buku etika dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suzeno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah norma adat, wejangan dan adatistiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggungjawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika ada 4 teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu hedonism, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah pandangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari amnesia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah illahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
  1. Estetika
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kulaitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakn kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Aksiologi berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantak lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. suriasumantri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru  malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bissa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena itu sendiri ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagipula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. Nilai kegunaan ilmu untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal yaitu:
  1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
  1. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
  1. Filsafat sebagi metodologi dalam memecahkan masalah
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan  pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah-masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang diguna amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselessaikan secara tuntas. Penyelesaian secara detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Nilai itu bersifat objektif tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakuakn penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam member penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur penialian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektifitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan anatara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektivitasnya. Seorang ilmuwan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam mennetukan topic penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan  baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terkait pada nilai subjektif

















RASIONALISME
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
  1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
  2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
  3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua; pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.
EMPIRISME
Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.












Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir untuk menentang zamannya. Ia lahir sebagai reaksi terhadap cara berfikir yang telah ada seperti materialisme dan idealisme dan barangkali juga kekecewaan terhadap agama (Kristen). Hal ini terjadi akibat perang dunia, baik yang pertama maupun yang ke dua.
Eksistensialisme menentang ajaran materialisme setelah memperhatikan manusia sedalam – dalamnya. Materialisme mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya benda sebagai akibat dari proses unsur – unsur kimia, manusia sama saja dengan benda lain seperti kerbau, pohon dan sebagainya. Tidak berbeda sama sekali antara keduanya sekalipun ada kelebihan manusia apabila diperhatikan bentuknya.1 Eksistensialisme terus menentang materialisme yang mengajarkan manusia pada dasarnya seperti benda lain dan menurut materialisme manusia akan kembali kepada asal dari percampuran unsur – unsur kimia dalam tanah seperti semula.
Dengan demikian, materialisme melupakan usaha atau cara manusia berada di dunia karena kenyataannya manusia berjuang menghadapi dunia. Manusia tidak semata-mata ada di dalam dunia, tetapi ia sadar, hidup dan mengalami adanya. Dunia dihadapi manusia dengan memahami arti dan guna dari semua benda sehingga ia mengerti apa yang ada di hadapannya. Manusia adalah subjek yang sadar.
Oleh karena itu, kesalahan yang ditentang oleh eksistensialisme karena materialisme memandang manusia sebagai materi semata-mata tanpa memperhatikan unsur lain. Materialisme melupakan unsur potensi batiniah, rohaniah dari manusia. Padahal manusia mempunyai kesadaran dan pikiran yang dimiliki dari asal kejadiannya.


Eksistensialisme juga menentang ajaran idealisme, sanggahan eksistensialisme terhadap idealisme bahwa idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek dan akhirnya hanya sebagai kesadaran. Idealisme lupa bahwa manusia hanya bisa berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya.2
Dengan demikian, kesalahan idealisme ialah mendudukkan manusia sebagai subjek semata-mata, sedang materialisme memandang manusia sebagai objek. Idealisme menafikan suatu kenyataan bahwa manusia hanya dapat berfungsi sebagai subjek karena ada objek dan materialisme lupa bahwa segala sesuatu menjadi objek karena ada subjek.
Dengan demikian, keduanya hanya mengutamakan satu apsek dari manusia untuk menunjukkan keseluruhan manusia itu sendiri. Materialisme mengemukakan segi jasmaniahnya saja, sedangkan idealisme memandang perwujudan manusia itu hanya sebagai yang berfikir. Untuk itu, eksistensialisme mengemukakan keber”ada”an manusia.
B.  Makna Eksistensi
Pada umumnya, kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda – benda. Benda – benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada. Manusia berada bersama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama – sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini, di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda – benda “berada” sedang manusia “bereksistensi”.3 Oleh karenanya, hanya manusialah yang bereksistensi.
Adapun kata eksistensi adalah berasal dari kata “ex” berarti keluar, dan “sistensi” yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri, dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.4
Ini berarti bahwa eksistensi bermakna manusia itu mengalami dirinya sendiri dengan mengalami barang lain, barulah bereksistensi. Dalam hal ini, ada hubungan permanen dan ketat antara subjek dengan objek. Manusia tidak memisahkan diri dari dunia luar karena ada dunia luar, maka subjek berbuat, memberi arti sehingga objek dapat berarti karena dimengerti oleh subjek. Oleh karena dunia luar itulah, maka manusia berbuat ini dan itu, kemudian orang lain mengetahuinya. Kata Drijarkara berada dengan menempat sama dengan berada ke luar dari dirinya sendiri, maka manusia menduduki diri sendiri dan berada dalam dirinya sendiri sebab dia berkata “Aku”. Dia mengalami diri sendiri dan sebagai diri sendiri.5 Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menggunakan benda – benda yang ada di sekitarnya. Dengan kesibukannya itu, ia menemukan dirinya sendiri. Demikianlah ia bereksistensi.
C. Ajaran Filsafat Eksistensialisme
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam – macam sistem yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian, sistem – sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama di antaranya adalah:
1.      Motif pokok adalah eksistensi yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat pernatian adalah pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
2.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Setiap saat, manusia menjadi lebih atau kurang dari dirinya.
3.      Filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai dan masih harus dibentuk. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitarnya.
4.      Tekanan filsafat eksistensialisme adalah kepada pengalaman yang kongkret, yakni pengalaman yang eksistensial.6
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pangkal tolak filsafat eksistensialisme ialah eksistensi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi merupakan peristiwa yang azasi. Manusia menjadi sadar agar bisa berbuat, dan berbuat bertujuan dalam berbuat dia menyempurnakan dirinya. Adapun mazhab atau aliran di dalam filsafat eksistensialisme adalah:
1.      Eksistensialisme Teistis
Eksistensialisme teistis diwakili oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Seorang tokoh yang dianggap sebagai Bapak eksistensialisme. Ia berasal dari Denmark. Ajarannya mengandung harapan (optimistis) untuk hidup di dunia ini. Ia percaya bahwa ada cahaya dalam kegelapan. Ia juga berpendapat bahwa eksistensi manusia ialah manusia merasa bersalah terhadap Tuhan.7 Adapun eksistensialisme manusia adalah hidup, ketakutan, harapan, putus asa dan mati, yang kesemuanya itu menjadi pemikiran Kierkegaard.8 Akan tetapi, dalam situasi demikian, percaya kepada Tuhan dapat menolong mengatasi ketakutan dan putus asa yang disebabkan oleh kedosaan. Di samping adanya kepercayaan demikian harus pula disertai segala kesungguhan sebagai eksistensi yang harus menghadapi realitas. Manusia harus berbuat, bertindak dan bereksistensi demi kebebasan dalam keterbatasan dengan adanya mati. Kierkegaard berpendapat pula bahwa hanya manusia yang bereksistensi; yang bereksistensi setiap saat. Bereksistensi ialah bertindak.9
Manusia bukan saja individu di hadapan dirinya, tetapi juga individu di hadapan Tuhan.10 Dari ajaran tersebut sehingga dikatakan bahwa Kierkegaard memandang manusia dalam gerak vertikal yang pada akhirnya ke Tuhan.11
Kierkegaard mengemukakan pula tentang stadium hidup manusia yang dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stadium estetis, etis, dan religius.
a.       Stadium estetis ialah orang yang berpikir tanpa gerak. Ia dapat memikirkan segala sesuatu, tapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan itu. Ia tidak menyelaminya malahan tidak menyentuhnya, artinya hanya berpikir untuk berpikir. Kierkegaard benci terhadap eksistensi yang sekadar terletak pada taraf estetis.
b.      Stadium etis ialah orang berpikir memusatkan ke dalam dirinya, tak ada soal lain baginya daripada kesalahan atau kedosaannya sendiri. Kesungguhan dipandangnya sebagai hal yang tidak menyenangkan, melainkan sebagai batin sendiri yang harus diubahnya. Renungannya berpuncak pada tindakan etis, tapi tidak memperlakukan diri sendiri untuk diubah. Dalam stadium ini, orang belum meninggalkan yang umum karena ia mencari ukuran tingkah laku yang umum.
c.       Stadium religius. Pada stadium ketiga ini diputuskanlah segala ikatan umum. Muncul manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan yang kongkret yaitu Tuhan yang kongkret dan sungguh ada. Minatnya tidak lagi pada diri sendiri, tapi pada Tuhan. Tuhan yang hidup sebagai manusia dalam waktu, tapi berhubungan juga dengan keabadian. Adapun hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Di situlah ia mengetahui eksistensinya.12
2.      Eksistensialisme Ateistis
Jean Paul Sartre dianggap sebagai tokoh eksistensialisme ateistis. Ia seorang filsuf Perancis yang lahir pada tahun 1905. Azas pertama ajarannya ialah eksistensi adalah keterbukaan. Manusia tidak lain cara ia menjadikan dirinya. Ini berarti manusia harus dihadapi sebagai subjek, artinya manusia tidak akan selesai dengan ikhtiarnya. Manusia tidak lain adalah tindakannya sendiri.
Menurut Sartre, apapun eksistensi manusia, ia sendiri yang bertanggung jawab karena ia dapat memilih yang baik dan yang kurang baik baginya. Oleh sebab itu, ia tidak dapat mempermasalahkan orang lain, apalagi akan menggantungkan diri kepada Tuhan.13 Pertanggungjawaban tersebut didasarkan atas suatu perhitungan bahwa apa yang dilakukan manusia akan diperbuat pula oleh orang lain. Perbuatan manusia yang telah dipertimbangkan masak – masak merupakan gambaran manusia yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat digambarkan betapa besar beban manusia terhadap seluruh manusia pada umumnya.
Sartre memandang bahwa apa saja yang dibuat manusia mempunyai tujuan dan arti tertentu. Manusia hidup dalam buatan manusia sendiri. Manusia menjalankan eksistensi manusia dalam alam buatan manusia sendiri. Manusia dapat menembus konstruksi dan mendobrak alam konstruksi. Ia berpandangan bahwa dalam hidup ini tidak ada norma, semua serba tidak menentu. Oleh karena itu, manusia mengalami kesepian yang dapat membawa kepada keputusasaan.14
Sartre mengajarkan pula tentang kesadaran. Sadar, berarti sadar terhadap sesuatu, sesuatu di luar dirinya. Di sini berarti antara bahwa diri seseorang dengan sesuatu yang lain, ada hubungan dan ada komunikasi. Pendapat Sartre lebih lanjut bahwa adanya hubungan dengan sesuatu yang di luar, berarti meniadakan sesuatu. Maknanya, orang yang sadar tidak identik dengan dirinya sendiri, dia bukanlah ia.
Dia yang sadar tentang dirinya selalu berbuat terus untuk mengubah dirinya. Dia selalu dalam peralihan dan peniadaan itu berjalan terus-menerus.15
 Ajaran sentral Sartre ialah kemerdekaan karena kemerdekaan itu sendiri milik manusia yang azasi. Tanpa kemerdekaan, manusia tidak ada artinya lagi. Hal itu menurut Sartre tidak ada determinasi. Sekalipun orang dipaksa, didorong atau ditarik umpamanya, manusia tetap mempunyai sikap, mau atau tidak mau, maka kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya tetap ada.
Manusia mempunyai kemerdekaan untuk bertindak dan berbuat. Kemerdekaan adalah mutlak. Kemerdekaan tidak dapat disempitkan maknanya bagi manusia, sekalipun maut merupakan batas dari kebebasan. Menurut Sartre, batas itu di luar eksistensi manusia. Maut tidak mempunyai arti apa-apa dalam hubungannya dengan eksistensi manusia.16
2.2 Pragmatisme
A. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Pragmatisme
Istilah Pragmatisme  berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Yaitu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat – akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu – individu.

B. Perkembangan Pragmatisme di Amerika
Pragmatisme di Amerika secara garis besar berkembang melalui tiga tokoh besarnya yaitu :
1.      Charles Sandre Peirce (1839-1914 M)
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika dan bukan teori kebenaran melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
2.       William James (1842-1910 M)
William selain menamakan filsafatnya dengan “pragmatisme”, ia juga menamainya “empirisme radikal”. Sedangkan empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus tidak menerima suatu unsur alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara langsung. Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
3.      John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.
Secara teoretis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles Sanders Peirce meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James. Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.











Filsafat pendidikan merupakan ilmu filsafat yang mempelajari hakikat pelaksanaan dan pendidikan.[1] Bahan yang dipelajari meliputi tujuan, latar belakang, cara, hasil, dan hakikat pendidikan.[1] Metode yang dilakukan adalah dengan menganalisis secara kritis struktur dan manfaat pendidikan.[1] Filsafat pendidikan berupaya untuk memikirkan permasalahan pendidikan.[2] Salah satu yang dikritisi secara konkret adalah relasi antara pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran.[3] Salah satu yang sering dibicakan dewasa ini adalah pendidikan yang menyentuh aspek pengalaman.[4] Filsafat pendidikan berusaha menjawab pertanyaan mengenai kebijakan pendidikan, sumber daya manusia, teori kurikulum dan pembelajaran serta aspek-aspek pendidikan yang lain.[5]
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b1/Classroom.jpeg/200px-Classroom.jpeg
Suasan belajar di kelas menjadi objek penting filsafat pendidikan
Daftar isi
Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat dan pendidikan sebenarnya adalah dua istilah yang mempunyai makna sendiri.[2] Akan tetapi ketika digabungkan akan menjadi sebuah tema yang baru dan khusus.[2] Filsafat pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ilmu filsafat secara umum.[2] Filsafat pendidikan memandang kegiatan pendidikan sebagai objek yang dikaji, baik secara Ontologis, Epistemologis, maupun Aksiologis.
[2] Ada banyak definisi mengenai filsafat pendidikan tetapi akhirnya semua mengatakan dan mengajukan soal kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam rangka menyelesaikan permasalahan pendidikan.[2] Upaya ini kemudian menghasilan teori dan metode pendidikan untuk menentukan gerak semua aktivitas pendidikan.[2]
Manfaat Filsafat Pendidikan
Pendidikan dapat dibedakan menjadi dua wilayah yaitu humanisme dan akademik.[2] Sisi humanisme mengembangkan manusia dari segi keterampilan dan praktik hidup.[2] Sementara aspek akademik menekankan nilai kognitif dan ilmu murni.[2] Keduanya merupakan aspek penting yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan.[2] Filsafat pendidikan berperan untuk terus menganalisis dan mengkritisi aspek akademik dan humanis demi sebuah pendidikan yang utuh dan seimbang.[2] Filsafat pendidikan akan terus melakukan peninjauan terhadap proses pendidikan demi perkembangan pendidikan yang mencetak manusia handal.[2]
Objek Kajian Filsafat Pendidikan
Realitas-realitas pendidikan yang menjadi objek kajian filsafat pendidikan antara lain:[2]
  1. Hakikat manusia ideal sebagai acuan pokok bagi pengembangan dan penyempurnaan.[2]
  2. Pendidikan dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu landasan berpikir dan memengaruhi tatanan hidup suatu masyarakat.[2]
  3. Tujuan pendidikan sebagai arah pengembangan model pendidikan.[2]
  4. Relasi antara pendidik dan peserta didik sebagai subjek dan subjek.[2]
  5. Pemahaman dan pelaksanaan kurikulum dalam pendidikan.[2]
  6. Metode dan strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik.[2]
  7. Hubungan antara lembaga pendidikan dengan tatanan masyarakat dan organisasi serta situasi sosial sekitar.[2]
  8. Nilai dan pengetahuan sebagai aspek penting dalam pengajaran.[2]
  9. Kaitan antara pendidikan dengan kelas sosial dan kenaikan taraf hidup masyarakat.[2]
  10. Aliran-aliran filsafat yang dapat memberikan solusi atas masalah pendidikan.[2]
Pada dasarnya filsafat pendidikan membicarakan tiga masalah pokok.[1] Pertama, apakah sebenarnya pendidikan itu.[1]. Kedua, apakah tujuan pendidikan yang sejati.[1] Ketiga, dengan metode atau cara apakah tujuan pendidikan dapat tercapai.[1]
























Followers

Top Komentar